CERITA DARI THE FOOD OPERA

Ahad 2019 Desember 22, Kami dari Forum Lingkar Pena Wilayah Riau di Pekanbaru berkesempatan memberikan ulasan (review) makanan yang disajikan oleh sebuah restoran khas arabia dan india, namanya THE FOOD OPERA. Ini pertama kali buat seorang Harris Hartman, memberi ulasan makanan. Namun walaupun pertama kali, ini bukan berarti main-main atau berat sangat. Ini berarti kami dapat amanah, dan sebuah kehormatan buat Kami mendapatkan amanah ini. Restoran ini terletak di pinggir Jalan Arifin Ahmad, dan dekat dengan Bandara Sultan Syarif Kasim II.

Kami dari masing-masing rumah tiba sekira pukul sepuluh pagi di The Food Opera. Saat masuk ke dalam restoran, oranamen timur tengah menghiasi dinding menyambut mata. Pelayannya ramah dan mempersilahkan Kami masuk dan memilih tempat. Bangku yang ada bantalannya jadi pilihan Kami, selain empuk juga dekat dengan kotak kontak supaya boleh isi ulang baterai laptop maupun ponsel.

Nasi Kebuli dan Nasi Mandhi disuguhkan dalam satu nampan alumunium besar, terbagi dua agaknya sama banyak. Sangat pas porsinya buat Kami bertujuh. Nasi Kebuli berwarna kuning, dan Nasi Mandhi berarna putih. Nasi Kebuli lebih tajam rasanya sebab rempahnya lebih banyak daripada Nasi Mandhi. Diatas nasi ada ayam yang digoreng dengan matang yang sedang. Ayamnya sangat terasa rempahnya. Tidak pedas sekali, dan cocok buat lidah kita yang senang pedas sedang.

Selain itu, ada teh khas india, namanya Teh Adhani. Teh ini dibuat dengan susu yang direbus berbarengan dengan teh plus rempah spesial. Sangat pas buat penawar rindu Saya yang saat di Batam sering minum teh yang dibuatkan Ayah. Juga pas rasanya, buat yang penasaran the khas india, yang jelas beda dengan teh thai, hehe.

Saat cerita ini dibuat, Saya jadi ingat supaya pesan Nasi Biryani dan Teh Adhani. Supaya mama selain dapat cerita juga dapat makan dari anaknya. Jadi ingat dua tips supaya hidup berkah dari pak Hanif, dosen Saya pada Mata Kuliah Dasar Instalasi Listrik. (1) Shalat teratur, maka hidup akan teratur. (2) Apapun ceritanya, minta maaf dengan orang tua, sebab ridha orang tua adalah ridha ilahi.

Demikian Cerita dari THE FOOD OPERA, sebuah restoran premium di Pekanbaru. Terekomendasi buat yang mau MABAR (makan besar), menyenangkan klien atau tamu, mencicipi masakan khas arabia dan india namun tetap sesuai lidah kita orang lokal, dan tujuan baik yang lain. Ada mushalla yang bagus di lantai dua. Parkir kendaraan juga luas. Sila kunjungi THEFOODOPERA.COM, laman resmi restoran ini. Terima kasih Bang Heri, Manajer Pemasaran The Food Opera telah mengajak Kami berkolaborasi.

#BloggerFLP #THEFOODOPERA #Pekanbaru #Riau

Menjadi Indonesia, Perlukah?

Bahasa Indonesia merupakan bahasa yang unik. Bahasa yang menginduk dari Bahasa Melayu, yang Suku Melayu itu sendiri adalah suku ketiga terbanyak di Indonesia. Bahasa yang tidak memiliki aturan waktu seperti tenses pada Bahasa Inggris. Bahasa yang asertif dari banyak bahasa global, seperti dari bahasa arab, kata kursi misalnya.

Melihat Bahasa Indonesia yang unik saja, dapat dipetakan potensi keunggulannya. Ini tergantung kita mempersepsikannya. Bahasa melayu kita kenal dengan budaya egaliternya, raja adil disembah raja lalim disanggah. Disebabkan tidak memiliki aturan waktu, kita adalah orang-orang yang sanggup menggabungkan sejarah, realitas, dan impian. Lalu, bahasa kita asertif terhadap bahasa lain, maka kita adalah orang-orang yang supel bersahabat dengan warga dunia (world citizen).

Namun ada paradoks. Ilmu linguistik di Indonesia rendah peminatnya. Ini terlihat saat penjaringan jurusan Bahasa Indonesia maupun bahasa daerah di perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta. Padahal, bahasa merupakan identitas kebanggan. Termasuk penulis yang baru belakangan menyadari hal ini.

Bagaimana dengan negaranya? Jika melihat dua indikator sederhana, mata uang dan paspor, kita kalah jauh dengan banyak negara di dunia. Mata uang rupiah perlu sekitar 13000 poin menyamai 1 poin mata uang dolar amerika serikat. Paspor kita jika dibawa memasuki negara-negara lain banyak ditagih visa oleh negara bersangkutan.

Namun ada paradoks, lagi. Demografi dan sumber kekayaan alam indonesia begitu besar. Ya, 2045 direncanakan sebagai generasi emas, bertepatan milad satu abad negara kita. Agar bonus demografi bukannya menjadi bencana demografi memang perlu banyak upaya. Ada upaya dari pemerintah kita, yang saat itu dimotori Pak Nuh (Mendikbud) dan Bu Sri (Menkeu) memformat beasiswa LPDP. Sumber kekayaan alam yang belum menyejahterakan banyak warga negara, seperti hot issue yang tak pernah dingin pembahasannya.

Warga negara kita adalah warga negara pemikul beban. Sebab seberapa besar beban yang dipikul, seperti itu pula kedudukan kelak di akherat. Itulah semangat pertanggungjawaban warga negara kita, yang menjunjung Ketuhanan Yang Maha Esa. Namun mengapa yang sudah disumpah kitab suci, masih tega korupsi? Sebab itu, negara kita walaupun relijius, tidak membenturkan ayat suci dan ayat konstitusi. Karena negara kita tidak mengambil hak privat warga negara, justru melindungi hak privat tersebut. Lebih baik bagi negara kita membebaskan seribu orang bersalah daripada menghukum satu orang tidak bersalah.

Simpulannya, kita perlu menjadi Indonesia. Ya, Indonesia yang unik, yang sanggup menggabungkan sejarah-realitas-impian, yang akan menjadi solusi buat dirinya sendiri dan buat peradaban dunia yang hari ini terseok-seok.

Catatan: Ditulis saat acara #flashbloggingriau bertema #menujuindonesiamaju ditaja Dinas Kominfo Riau bekerja sama dengan Ditjen Informasi dan Komunikasi Publik, Hotel Arya Duta, Pekanbaru.